Setelah melaksanakan ibadah shaum (puasa) selama 1 bulan, Umat Islam di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Fitri. Ketika mendengarkan kultum setelah sholat dzuhur beberapa waktu lalu di kantor, ustadz pembicara (saya lupa namanya) menyoroti ada beberapa kekeliruan yang terjadi di masyarakat terkait dengan hari raya Idul fitri. Saya tidak mengatakan bahwa pendapat ustadz itu seluruhnya benar atau salah, saya hanya coba membagi pengetahuan yang saya peroleh tersebut. Berikut ini beberapa kekeliruan yang disorotinya :
Pertama adalah pengertian dari Idul Fitri itu sendiri. Selama ini Idul fitri diartikan sebagai “kembali ke pada fitrah” ataupun “kembali suci”. Padahal kalau dilihat artinya dalam bahasa Arab bisa menimbulkan perbedaan pengertian. Kata ‘Id berasal dari kata “Ada-Yaudu” yang maknanya kembali, sedangkan fitri berasal dari kata iftor yang maknanya berbuka. Jadi ‘Idul fitri sebenarnya bermakna “kembali berbuka setelah melaksanakan shaum selama 1 bulan”, bukanlah kembali suci yang selama ini dipahami oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Yang kedua adalah istilah zakat yang wajib dibayarkan sebelum sholat ‘id. Selama ini masyarakat mengenalnya dengan sebutan “zakat fitrah”, padahal sebutan yang benar adalah “zakat fitri” sesuai dengan hari raya Idul fitri. Zakat fitri ini wajib dibayarkan sebagai penyempurna ibadah shaum, waktunya hingga sebelum khotib sholat ‘id naik ke atas mimbar. Bila lewat dari waktu tersebut, maka hanya dianggap sebagai infaq biasa.
Yang ketiga adalah pelaksanaan sholat ‘id. Sholat ‘id hukumnya sunnah muakad, tempat pelaksanaannya di lapangan ataupun tempat terbuka bukannya di masjid. Selama hidupnya Rasulullah melaksanakan sholat ‘id di tempat lapang dan tidak pernah didalam masjid sekalipun di dalam masjidil Haram ataupun masjid Nabawi meskipun diketahui bahwasanya pahala sholat di masjid tersebut lebih besar dibandingkan sholat di masjid lain.
Yang keempat adalah khutbah sholat ‘id. Khutbah hanya dilakukan satu kali, berbeda dengan khutbah sholat jum’at dimana khotib duduk di antara 2 khutbah. Hukum mendengarkan khutbah ‘id pun hanya sunah, berbeda dengan khutbah sholat jum’at yang wajib dan merupakan bagian dari ibadah sholat jum’at itu sendiri.
Yang kelima adalah tata cara sholat ‘id. Sholat ‘id dilaksanakan 2 raka’at dimana pada rakaat pertama ada 7 takbir setelah takbiratul ihram dan 5 takbir di rakaat kedua setelah takbir bangun dari sujud. Rasulullah tidak pernah memberikan contoh bacaan khusus diantara takbir-takbir tersebut. Hanya saja ada seorang sahabat yang menambahkan dengan kalimat :”Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa ilaha ilallah Wallahu Akbar”, hal ini tidak dilarang oleh Rasulullah.
Yang keenam adalah masalah takbir menyambut hari raya Idul Fitri. Takbir hanya dilakukan selama perjalanan sebelum sholat ‘id hingga sesaat sebelum khotib naik mimbar. Dan hanya dilakukan secara perseorangan, bukannya dilakukan secara berjama’ah. Jadi acara malam takbiran yang terjadi di masyarakat saat ini sesungguhnya tidak pernah dilakukan selama zaman Rasulullah.
Yang ketujuh adalah ucapan dalam hari raya Idul fitri. Dalam masyarakat Indonesia dikenal ucapan “Minal Aidzin Wal Faidzin”. Ucapan ini tidak ada landasan yang kuat dan entah sejak kapan dikenal di masyarakat. Ucapan yang diajarkan Rasulullah dalam hari raya Idul Fitri adalah “Taqoballahu Minna Wa Minkum ” yang artinya Semoga Allah menerima ibadah kita semua.
Sejauh ini baru 7 hal yang saya ingat disampaikan oleh ustadz pembicara dalam kultum sholat dzuhur tersebut mengenai kekeliruan dalam hari raya Idul fitri. Semoga hal ini bermanfaat dan memacu kita (terutama saya) untuk lebih kritis mencari dalil ataupun landasan dalam melaksanakan ibadah. Wallahu ‘alam bi showab.
*Berbagai Sumber*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar